Wednesday, December 14, 2005

Kesiapan Finansial dan Kemapanan Finansial?

Banyak orang mengambil keputusan untuk berani menikah ketika mereka telah mapan secara finansial. Aku tidak menyalahkan dengan pilihan mereka, karena hidup adalah sebuah pilihan. Bagiku ada dua pertimbangan yang terkadang disamakan namun sesungguhnya keduanya adalah hal yang berbeda. Apakah itu?

Kesiapan finansial dan Kemapanan finansial...

Dua hal yang berbeda namun sering disamakan.

Banyak pemuda dan pemudi era saat ini menolak anjuran menikah dengan alasan klise, "Nikah kan tidak cukup bermodal cinta dan cita-cita?". Mereka lebih memilih berpacaran daripada menikah. Mengapa mereka harus menunggu bencana (baca: Nikah by Accident atau NBA)? Mengapa ketika bencana belum terjadi mereka mengedepankan alasan ekonomi? Dengan ekonomi yang mapan, mereka yakin akan dapat membangun rumah tangga yang lebih baik.

Sebuah kemapanan ekonomi ketika dijadikan landasan untuk menikah, maka akan melahirkan bencana demi bencana. Sebaliknya, meski tanpa kemapanan ekonomi, tetapi bila bersungguh-sungguh untuk memiliki kesiapan finansial untuk memberikan nafkah, maka itu cukup sebagai bekal untuk menikah.

Ada perbedaan antara kesiapan finansial dan kemapanan finansial. Kemapanan finansial sebagian orang menamakannya dengan kesiapan ekonomi. Kesiapan ekonomi--banyak orang menafsirkannya sebagai kemampuan ekonomi yang dimiliki orang seorang laki-laki sehingga dengan kemampuan ekonomi itu ia bisa memberi nafkah. Sementara itu, Kesiapan finansial diasumsikan dengan kesiapan untuk memberi nafkah, hal ini lebih berkait dengan kesungguhan seorang pria untuk bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya sehingga meskipun saat menikah tidak memiliki kemapanan finansial, ia tetap menafkahi keluarganya.

Suatu ketika, seorang wanita datang menemui Nabi. Suaminya seorang yang kaya, tetapi tidak memberi nafkah yang cukup kepadanya. Yang menjadi persoalan, apakah dibolehkan baginya mengambil harta milik suaminya tanpa sepengetahuan suami sehingga dengan itu nafkahnya tercukupi. Ketika itu Nabi membolehkan, dengan catatan sebatas yang ia butuhkan.

Apa yang bisa kita petik dari kisah ini? Kemapanan finansial tidak menjamin bahwa seorang pria mempunyai kesiapan finansial, artinya: belum tentu seseorang yang mempunyai kemapanan dengan sukarela mau menafkahi istrinya. Banyak wanita yang terlunta-lunta. Mereka senantiasa menderita kekurangan, bukan karena selalu merasa kurang dengan apa yang diterimanya, melainkan karena suami tidak pernah mencukupi kebutuhannya. Termasuk untuk hal-hal yang bersifat primer, seperti makan. Padahal secara ekonomi, suaminya sangat mampu alias mapan finansial. Nah lhoooo..."Woman have you think about it?"

Apa yang harus dilakukan wanita? Pastikan calon suami anda mempunyai kesiapan finansial (siap menafkahi anda), not just only kemapanan finansial saja. Mungkin para wanita ini bertemu dengan seseorang yang belum mapan finansial namun ia telah bersedia untuk siap finansial, jangan paksa dia untuk menjadi seseorang yang mapan finansial. Jika anda memaksanya, artinya: anda harus menunggu dia selama beberapa tahun dulu kan. Mungkin anda akan mencari pria lain yang telah mapan secara finansial, thats your choice. Tapi jaman sekarang, pastilah pria seperti ini kemungkinan besar telah berumur di atas 30 tahun atau mungkin dia telah berkeluarga sehingga pilihan anda adalah menjadi istri kedua. Stop, jangan tersinggung...this is realistic talking. I'm not kidding, think it again. Benar ga sih apa yang aku omongin...???

Kemungkinan yang lebih buruk lagi adalah Tak ada pria yang berani melamar anda karena prinsip kemapanan finansial yang anda pegang saat ini. Hingga suatu ketika anda terbangun dari tidur dan di samping anda hanyalah bantal dan guling, bukan suami tercinta, padahal saat itu umur anda telah di atas 30 tahun.

Think again...kesiapan finansial ataukah kemapanan finansial...?????????????

0 Comments:

Post a Comment

<< Home